Sabtu, 21 Januari 2012

Perawan...

Hidup adalah pilihan yang tak kita pilih, tapi kehidupan adalah ragam pilihan yang sedia tuk kita pilih. 
2012- tekhnologi meninggi, modernitas meluas, dan globalisasi adalah aksi. Aku tak terlalu paham sebenarnya dengan tiga hal itu, hanya saja kukira semuanya membuat manusia semakin kehilangan wujud aslinya. Aku melihat banyak manusia dengan wajah berbeda di setiap tempat, padahal wajah-wajah itu adalah orang yang sama. Aku melihat banyak suara berbeda di setiap kesempatan, tapi ternyata suara itu keluar dari mulut yang sama.

Perbedaan tidak harus dijadikan masalah sebenarnya. Begitu pula perubahan dan segala hal yang tak konstan harus kita terima adanya, karena hidup adalah gerak dan gerak adalah perubahan. Sudah seharusnya setiap orang menerima keadaan (pilihan) yang tersedia di muka, tapi sebagai lelaki aku gundah dan bimbang menerima keadaan sekarang, tegasnya soal wanita.

Akhir-akhir ini aku senang melihat-lihat pembaruan di beberapa situs jejaring sosial, terutama pembaruan foto-foto penggunanya. Dalam penglihatanku yang masih wajar, sejujurnya banyak kutemukan pose-pose tiruan film Titanic bahkan American Pie terpampang. Masalahnya, pose-pose itu ditampilkan tanpa privasi dari pengunggahnya.


Melihat beberapa pose macam itu, sempat terbesit pertanyaan di kepalaku, apa masih banyak wanita perawan sementara di media banyak gambar wanita -beberapa diantaranya berjilbab- sedang bergandengan pada pinggang? Sangat salah memang jika ada yang menuduh seorang perempuan sudah tidak perawan, tapi bukankah berprasangka itu hal yang wajar?

Tanpa niat mengucilkan, secara gamblang aku sulit membedakan mana wanita yang pernah dijamah tangan tak halal dan mana yang masih sebening mata air. Meski begitu, kurasa wanita pun memiliki pertanyaan sama soal pria. (Bedanya, sering terdengar bahwa kebanyakan laki-laki ingin menikahi wanita yang perawan, sedangkan wanita jarang kudengar ingin mendapatkan laki-laki perjaka.)

Sempat ada satu jawaban terbesit mengenai kegundahan ini, yakni satu kutipan berbunyi 'kesetiaan lebih berharga daripada keperawanan'. Alangkah bijaknya kalimat ini. Sejenak aku merasa nyaman, tapi tiba-tiba terbesit lagi pertanyaan, bukankah itu sebuah pilihan? Masih adakah pilihan lain?

Waktuku di Siang Itu

Buat T.R.J.



Ingin kutanyakan langsung padamu,
Apakah kau pernah merasa begitu runyam?
Seperti menelan benang kusut, tapi terasa di dada.

Apakah kau pernah merasa begitu hambar?
Merasa selalu haus?
Atau malah merasa sesak?
Seperti menelan segenggam terigu, tapi terasa di dada.

Apa kau pernah merasa selalu gerah?
Apa kau pernah merasa muak dengan hidupmu?
Tak bernafsu pada tubuhmu?

Lalu tiba-tiba setitik cahaya menyentil jidat, merangsek masuki tengkorakmu, bersemayam dan menusuk.
Seketika itu pula puting beliung mengitari tubuhmu, mengoyak setiap isi sadarmu,

hingga kau begitu ringan menginjak bumi, mencium wangi dari tubuhmu sendiri dan kau tak mau melakukan apapun, karena ada sesuatu seperti mengusap bibirmu,
seseorang yang membuatmu tak henti berhayal untuk berpegang tangan,
dan kau merasa tenang seketika dalam saat lama.

Itulah waktuku di siang itu, saat menemukan matamu




awal 2011

(A.N.A.B)

Parau

Sejak satu jam lalu, malam di balkon rumahku tak berbulan. Gelapnya gulita. Suara kenalpot yang terkadang lewat hanya penyela megahnya sunyi seusai hujan.

Ini baru pukul sembilan malam. Kalaupun lebih, hanyalah beberapa menit tapi, malam sudah nampak begitu malam. Kepak kelalawar terdengar malas. Banyak dari mereka memilih libur mencari makan, kebanyakan dari mereka mungkin tengah bercinta.

Saat seperti ini memang banyak dihabiskan para nyawa dengan memadu kasih dan beradu kecup. Tapi, sesungguhnya lebih banyak  makhluk melumbuk atau meringkuk. Ya, meringkuk di tempat tidurnya sendiri atau di tempat paling ia sukai untuk sekedar membiarkan waktu berlari. Di beberapa pohon, parkit terkantuk di sarangnya, dan mereka tak jua tidur. Di dalam kandang, banyak ayam memandangi bohlam kuning lima watt di hadapannya. Sementara di alam waras, beberapa kepala menghisap kretek dalam-dalam di bangku warung kopi, beberapa yang lain memeluk lutut di samping sepeda motor yang mereka ojekkan, dan tak kalah banyak insan tengah mengetik semua hal berbau ‘galau’ di akun facebooknya. Ya, saat-saat begini galau begitu tangkas menjangkit manusia kebanyakan, termasuk aku.

Kuhisap dalam-dalam kretek filter lalu ku hembuskan separuh demi separuh. Bagai kosmetik yang dipakai aktris sinetron, rokokku kali ini menyempurnakan segelas kopi hitam yang tak lagi hangat. Di balkon ini, kubiarkan waktu berlalu tanpa perlu ia bilang permisi.

Kulihat di langit, malam dikunjungi beberapa bintang. Kilaunya sangat cantik. Di tanggal akhir seperti sekarang, memang bintang lukisan terindah yang bisa kupandang lewat jendela kamar. Tapi, bintang kali ini istimewa buatku, tahu kenapa? Karena satu bintang paling berkilau ada di arah timur laut, arah rumahmu. Adakah kau sedang menatap bintang itu?

Betapa menikmati bintang-bintang di sebelah timur laut dari balkon ini membuatku ingin bernyanyi. Aku ingin menyanyikan lagu-lagu sedih, lagu blue, lagu sendu yang bisa meninabobokan gundah dan lelah.

Stars shining bright above you
Night breezes seem to whisper I love you 
Birds singing in the sycamore tree
Dream a little dream of me

-Dream a little dream, Billie Holiday-

Billy Holiday menyanyi di telingaku. Dan baris pertama lagu inilah yang benar-benar terasa nyata. Dengan lagu ini, bintang yang indah menjadi sangat indah. Seiring wanita itu bernyanyi, dari samar kau datang mendekat, lalu memberikan senyum manis dambaan. Sejenak kemudian, aku sadar kalau kau memang tak ada di hadapku saat ini.

Suara blue dan sendu wanita ini membuatku lupa kalau ternyata kita belum ada hubungan apa-apa. Bahkan kini, rasanya sudah terlalu lama tak kunikmati senyummu. Karena Rutinitas, akhir-akhir ini aku hanya bisa memandang cermin abadimu, dalam album facebookmu, sambil menunda mimpiku, mimpi-mimpi kecilku.

Seusai lagu tentang mimpi tadi, lagu selanjutnya dan lagu-lagu lainnya kudengar begitu menyisir hati. Kali ini, Billie menyanyikan tembang Blue Moon milik Elvis Presley. Meski tanpa bulan malam ini, hatiku nyatanya tak kalah parau dengan lagu itu.

blue moon
you saw me standing alone
without a dream in my heart
without a love on my own


-Blue Moon, Elvis Presley-


Meski tak penting untuk kau tahu, betapapun terdengar begitu parau, lagu di hatiku begitu merdu.




25 Desember 2011