Kau datang lagi dalam malamku. Kali ini dengan sikap seperti hari-hari
biasa. Bagaimana kau senyum begitu nyata, lebar buatku, seperti yang kauberikan
saat kita jumpa kapanpun, di kampus, saat kusapa engkau yang sepintas lalu.
Benar adanya, sepintas lalu. Kau selalu berjalan cepat kala sendiri
maupun bersama kawan, seperti kala aku pernah mengejar kereta terakhir di
stasiun Cikini pukul sembilan malam. Di tengah engkau cepat, kupanggil namamu.
Kau jawab dengan wajah itu, wajah yang tenangkan sebentuk jiwa lusuh. ‘Hai…’
begitu jawabmu. ‘Mau ke kosan’, lanjutmu setelah kutanya kemana engkau
akan pergi. Agak heran kulihat caramu berjalan mengejar kosan sementara tempat
itu takkan pergi. Padahal bergeser pun takkan mungkin selama tak ada gempa.
Sempat terpikir mengejarmu untuk sekedar mengantar ke depan gerbang
atau mengejar kosan yang kaumaksud, tapi beberapa canda kawan mengurungkan niat
itu. Sayangnya, canda itu selalu menjegal bila kutemukan kau. Sementara, engkau
terus berjalan cepat tak peduli aku memperhatikan. Mungkin kau sengaja tak
ingin kuganggu, malu pada orang-orang bila di dekatku, atau malah tak kuasa
menahan rona yang pasti hadir saat aku mendekatimu. Semua masih tak jelas
hingga saat ini kukenang senyum lebar yang menipiskan kelopak matamu itu.
Senyum tadi hadir tepat saat kau duduk di sebuah kursi sederhana, sambil
menumpangkan kaki kanan di atas kaki kirimu, memandang ke arah lain di balik
jendela, jauh, sangat jauh tatapanmu, bukan menatap halaman rumah yang aku sebenarnya
tak pernah tahu seperti apa. Saat itu bibir mungilmu tengah menjepit jari tangan
kiri yang kaugigit kecil. Tak ada raut apapun. Kau hanya sedang menatap jauh, tapi
matamu itu kalah jauh oleh kamera di kepala yang kaupakai untuk memutar
klise-klise hal lalu. Aku tak tahu kepalamu sedang menyetel cerita apa, aku tak
tahu.
Kusapa engkau dalam posisi itu dan jawabanmu masih sama, ‘hai’ saja.
Andai kutanya engkau mau kemana, mungkin kau akan jawab ‘mau ke kosan’. Padahal
kurasa kau sedang di rumah, meski aku tak tahu itu rumah siapa.
Masih sama jawab dan raut wajahmu itu menyambut suaraku dengan kata
‘hai’ yang kukenal. ‘Hai’, itu saja. Tak ada yang lain.
Ahh… malam temaram, kau semakin buram, kau semakin kelam.